CERPEN : Gara-Gara Hujan
GARA-GARA HUJAN
Oleh : Nurul Izzatul Fitriyah
“buk jus apukatnya satu ya, dibungkus. Makasiii..”
Siang itu hujan mengguyur kota Surabaya begitu deras seakan menumpahkan tangisan sang langit mendung. Rena sedang berteduh disalah satu kedai Jus terenak di Surabaya, tempat itu langganan dia semenjak SMA. Tidak mungkin jika hanya sekedar berteduh, akhirnya dia juga membeli jus itu. Tak lama kemudian, pesanan sudah selesai. Rena lihat hujan semakin deras sepertinya tidak memungkinkan jika dia tetap melanjutkan perjalanan ke perpustakaan. Tetap berteduh menunggu hujan reda sambil menyeruput jus apukat adalah pilihan yang tepat.
Didepannya ada anak dari penjual jus yang sedang bergembira ria bermain hujan-hujanan. Rena membatin “Asik banget si dek, kayak gapunya beban”. Melihat anak itu Rena jadi teringat masa kecilnya. Masa yang hampir tidak pernah dipenuhi beban pikiran yang rumit. Kala itu, yang dia tau hidup hanya tentang bermain dan belajar. Bisa tidur tanpa melalui rintangan overthinking, masa bodo sama diri sendiri tanpa rasa insecure dan tidak tahu menahu tentang permasalahan keluarga. Masa itu sangat berbanding terbalik dengan masa remaja menjelang dewasanya saat ini. “agak kesanaan dek. Basah, ntar kecipratan” suami dari penjual jus memotong lamunan Rena, mengingatkannya untuk lebih masuk ke tempat yang nyaman. Rena membalasnya dengan anggukan sembari menggeser kursi yang dia duduki. Sesekali Rena menyeruput jusnya dan melanjutkan lamunannya. Sebenarnya takdir sebagai anak pertama lah yang menyebabkan dia mempunyai beban pikiran rumit. Akhir-akhir ini dia sering memikirkan bagaimana caranya membantu orangtua untuk meringkankan beberapa tanggungan yang ada. Ide yang terlintas dalam pikirannya yaitu memulai bisnis atau bekerja sambil kuliah. Opsi pertama bagus sih cuma dia terkendala di modal, tabungan yang ia punya sebelumnya sudah keburu dipinjam mamanya untuk kepentingan mendesak. Opsi kedua rasanya tidak mungkin, dia sudah semester 4 tugas kuliah seringkali menumpuk khawatir keteteran dan tidak bisa mengatur waktu. “ah pusiiingg” keluh Rena setiap kali memikirkan hal itu.
Hujan masih sangat deras, belum ada tanda-tanda akan reda. Sesekali Rena membuka HP nya sambil menyeruput jusnya yang tersisa setengah cup. Diberanda instastory dia melihat postingan story temannya yang sedang nongkrong di Cafe ternama, shoping, dan jalan-jalan. Dulu, sangat mudah baginya untuk pergi ke tempat-tempat menyenangkan seperti itu dan tidak pernah sungkan mengajak teman-temannya. Ayah dan mamanya tidak pernah pelit memberinya uang untuk membeli kebahagiaan seperti itu. Tapi tidak dengan saat ini, keluarganya sedang diuji Allah dengan problematika materi. Dia tau pasti beban yang dipikul orangtuanya, hutang, cicilan, dan tanggungan lainnya. Setiap kali melihat postingan teman-temannya, dia selalu berusaha tidak iri dan berdamai dengan diri-sendiri. Memang terkadang dalam situasi itu, temannya menawarkan atau mengajaknya bermain. Akan tetapi, dia selalu merasa merepotkan mereka. Seringkali Rena tak enak hati untuk mengiyakan ajakan mereka. Tapi apa boleh buat, disatu sisi Rena ingin selalu ada untuk temannya untuk membalas semua kebaikan temannya selama ini, dan disisi lain dia bosan dirumah terus. Dirumah melulu membuat overthinkingnya semakin meningkat. Akhirnya dia tetap saja mengiyakan meskipun keadaannya seperti itu.
Tak terhitung, sudah berapa kali dia berdamai dengan keadaan pahit itu. Dulu, awal mula keluarganya mendapat cobaan itu Rena sulit untuk beradaptasi dengan keadaan. Itu karena dia sebelumnya terbiasa dimanja, hidup enak, dan belum begitu tau beban orangtua. Sekarang, dia dipaksa dewasa oleh keadaan itu. Tak hanya tentang problematika materi, akan tetapi juga ada permasalahan keluarga yang membuatnya sesak dan selalu menyelimuti pikirannya ditengah malam saat dia insomnia. Rena mengerti, ternyata seperti ini menjadi dewasa terlebih lagi menjadi anak pertama perempuan. Dia seringkali dijadikan tempat berkeluh kesah mamanya, wajar jika dia tahu persis problematika keluarganya. Jika teringat permasalahan keluarga, dia jadi iri dengan salah satu sahabatnya Tania yang mana keluarganya selalu kelihatan bahagia dan harmonis. Sementara Rena? Entah sudah berapa puluh kali dia menyaksikan pertengkaran orangtuanya yang selalu saja disebabkan hal-hal sepele. “Terlalu membesar-besarkan masalah, egois dan selalu merasa sebagai korban” adalah kata-kata ketus yang sering dibatinkan saat melihat pertengkaran ayah ibunya. Semenjak diuji problematika materi, Rena merasa tingkat temperamental ayahnya semakin meningkat. Mamanya lah yang selalu dijadikan tempat pelampiasan amarahnya.
Rena tersadar dari lamunannya, sepertinya awan mendung sedikit berkurang dan hujanpun mulai reda. Dia segera meninggalkan kedai jus itu dan buru-buru memakai jas hujan. Khawatir dipertengahan jalan ada hujan susulan. Masih agak gerimis, tapi Rena tetap melanjutkan perjalanan pulang. Tujuannya pergi ke perpustakaan tidak terealisasikan, langit belum merestui. Ditengah perjalanan pulang lagi-lagi Rena melamun sambil menikmati tetesan gerimis yang membasahi jas hujan yang dipakainya. Semua problematika kehidupan keluarganya yang dia saksikan selama ini seperti sebuah bekal untuk Rena menjalani hari-hari dewasanya nanti. Banyak hikmah yang dia dapat agar suatu saat nanti dia bisa mengarahkan bagaimana cara menjalani kehidupan dengan baik. Kesalahan-kesalahan orangtuanya yang menjadi sebab akibat problematika kehidupan itu muncul, akan selalu Rena ingat agar dia tidak membuat kesalahan yang sama nantinya. Bagi Rena, yang terpenting saat ini adalah dia harus berusaha kuat berdamai dengan keadaan, berdoa, yakin kehidupan tidak selalu pahit seperti ini, dan kuliah yang benar supaya dia bisa memperbaiki perekonomian keluarganya menjadi lebih baik lagi serta bangkit lagi seperti dulu. Sambil tersenyum semangat dibalik maskernya, Rena menyudahi lamunannya dan menarik gas motornya lebih kencang lagi agar cepat sampai rumah. “ah dasar suasana hujan, jago banget bikin orang melamun” Rena membatin singkat.
Komentar
Posting Komentar